Ketika
kita didudukan dalam situasi untuk memilih, tentu naluri kemanusiaan kita akan
memilih yang terbaik (best of the best). Lalu bagaimana jika justru ketika
pilihan tersebut tidak ada yang memenuhi kriteria kita, haruskah kita
tinggalkan dan mencari pilihan lain? Bagaimana jika seandainya pilihan tersebut
mutlak yang terakhir? Dan bagaimana jika seandainya pilihan tersebut adalah
suatu keputusan yang justru berimplikasi terhadap masa depan kita? Bagaimana
seandainya jika justru pilihan tersebut adalah ujian dari Allah Swt sebagai
wujud dari kasih sayang-Nya terhadap kita?
Banyak cerita di
sekeliling kita yang dapat dijadikan bahan renungan tentang makna pilihan, dan
buntutnya tentu masalah cinta. Jangan berpikiran sempit dulu tentang cinta itu
sendiri. Cinta bukan hanya cinta antara pasangan suami istri (pasutri), atau
cinta antara anak dan orang tua, namun juga termaktub cinta kepada suatu
barang, misalnya buku dan lainnya. Bahkan ada seseorang yang sangat mencintai
idola-nya, entah itu seorang artis atau aktor film.
Bukan suatu kebetulan jika
saya mengetengahkan makna cinta ini kok sepertinya berhubungan dengan hari
'valentine' yang sebentar lagi tiba. Jujur saja saya sudah tidak ambil pusing
dengan perayaan tersebut semenjak saya tahu bahwa perayaan hari valentine itu
sangat jauh dari nilai islami. Bagi saya, cinta itu bersifat universal yang
berhak dimiliki dan dinikmati oleh setiap makhluk hidup di bumi Allah ini tanpa
batas waktu dan jarak.
Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan kepada suatu keharusan untuk memilih satu dari dua pilihan yang ada? Sudahkah kita memaknai bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah Swt untuk kita, bukan sebaliknya.
Lalu, bagaimana jika kita dihadapkan kepada suatu keharusan untuk memilih satu dari dua pilihan yang ada? Sudahkah kita memaknai bahwa pilihan tersebut adalah yang terbaik menurut Allah Swt untuk kita, bukan sebaliknya.
Suatu kali pernah seorang
teman bercerita tentang kehidupan rumah tangganya yang bermasalah. Namun
sayangnya hal tersebut dijadikan alasan oleh sang teman untuk membalas-dendam
dengan, maaf, berselingkuh dengan orang lain. Saya pun kerap bertanya kepada
diri saya sendiri, bukankah ketika kita memutuskan menikahi pasangan kita
adalah suatu pilihan yang pasti terbaik dari segala pilihan yang ada?
Tapi tunggu dulu, terbaik
menurut siapa?
Allah Swt menganugerahi
setiap manusia sebuah bonus yang bernama 'akal', mengapa saya katakan 'bonus'
karena selain manusia, makhluk lain (hewan dan tumbuhan) tidak dianugerahi hal
yang sama. Selain itu, sebagai manusia kita pun dianugerahi 'titel' khalifah
(di bumi) oleh Allah Swt.
"Dia-lah yang
menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi". (Faathir:39)
Kembali kepada cerita
seorang teman di atas, salahkah dia dengan pilihan hatinya? Salahkah dia ketika
meresa kecewa karena pilihannya ternyata jauh dari apa yang dia impikan? Atau
ketika dia diberikan pilihan, sudahkah dia memutuskan memilihnya dengan atas
nama Allah?
Suami selalu mengingatkan
saya untuk tidak terlalu mencintainya kalau bukan karena Allah Swt, karena
ketika suatu saat Allah memanggil suami, tidak ada lagi cinta dan tempat
bernaung yang tersisa, karena kesemua cinta yang ada sudah dibawanya pergi.
Namun, ketika ketika kita mencintainya atas nama Allah, badai rintangan apapun
yang menghadang, kita masih dapat berlindung di bawah kasih sayang-Nya karena
hanya Allah Swt yang mampu memberikan kesempurnaan perlindungan.
Keputusan sang teman untuk
berselingkuh, jelas meletakkan nafsu di atas akal. Bukan hanya tidak akan
memecahkan masalah, bahkan akan menambah masalah baru. Akal pun dikorbankan
atas nama nafsu semata.
Saya teringat ketika adzan
maghrib berkumandang, sebagian kita mungkin sedang asyik menyimak berita
demonstrasi di sebuah liputan berita nasional di televisi. Dan pilihan kembali
disorongkan kepada diri kita. Mematikan televisi dan langsung berwudhu atau
mentolerir diri kita dengan 'pembenaran', tokh beritanya tinggal lima menit,
dan terus menonton. Kembali akal pun kita korbankan atas nama 'tinggal lima
menit' ketika kita diberikan suatu pilihan di hadapan kita.
Bangun di waktu subuh
ketika adzan berkumandang adalah satu pilihan terberat bagi sebagian orang yang
lemah iman. Ketika orang lain sudah melangkah menuju surau/masjid di sisi lain
kita mungkin masih enggan beranjak dari dalam selimut. Tidak hiraukan seruan
dari surau.... ash shalatu khairun minan naum...
Cinta kepada orang lain
melebihi cinta kepada suami, cinta kepada liputan berita daripada mendirikan
sholat maghrib dan cinta kepada kehangatan selimut kita daripada bergegas ke
surau adalah suatu pilihan yang diberikan Allah Swt bagi kaum yang berakal.
Sudahkah kita termasuk ke dalam orang-orang yang berakal? Sudah pantaskah kita menjadi
khafilah di bumi Allah ini?
Marilah kita bersegera
sujud memohon ampun kehadirat-Nya atas segala keterlenaan kita dan atas
keterbiusan kita akan gemerlap duniawi yang sebenarnya tiada kekal. "Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman
Allah)." (Al-Baqarah:269)
Lalu, cinta manakah yang akan Anda pilih? Wallaahu'alam bishshowab.
Lalu, cinta manakah yang akan Anda pilih? Wallaahu'alam bishshowab.
Berkomentarlah Dengan Sopan Dan Beretika. Terima Kasih