.

» » SEJARAH DAN KONSEP ASURANSI SYARIAH

SEJARAH DAN KONSEP ASURANSI SYARIAH

Penulis By on Wednesday 10 February 2016 | No comments



 SEJARAH ASURANSI SYARIAH

Sebenarmya asuransi sudah lama dikenal dunia sekitar tahun 2250 SM bangsa Babylonia hidup di daerah lembah sungai Euphrat dan Tigris (sekarang menjadi wilayah Irak), dimana pemilik kapal yang memerlukan dana untuk mengoperasikan kapalnya menjaminkan kapalnya kepada orang lain (kreditur) dengan perjanjian bahwa bila si pemilik dibebaskan dari pembayaran hutang bila kapal tiba dengan selamat ditujuan, di samping itu si pemberi pinjaman menerima imbalan sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko dipikulnya. Kata asuransi, dalam bahasa Inggris disebut insurance, dan dalam bahasa Perancis disebut assurance. Nah, kalau asuransi syariah bagaimana? Asuransi dalam bahasa Arab disebut ta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Ta’min merupakan hal baru dan tidak begitu dikenal kaum muslim, kecuali pada abad ke-13 hijriyah, ketika hubungan perdagangan antara timur dan barat menguat paska Revolusi Industri di Eropa. Istilah men-ta’min-kan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang. Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min. Transaksi ini dikenal kaum muslim melalui perwakilan dagang asing yang berada di berbagai negeri kaum muslim. Mereka lantas memasukkan transaksi ini, dimulai dengan ”ta’min bahri” (asuransi lautan), untuk kepentingan ekspor-impor. Kemungkinan besar, pakar fikih pertama yang menyinggung transaksi ini adalah Muhammad bin Abidin, penulis kitab Raddul Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Abshar yang merupakan salah satu kitab fikih Mazhab Hanafi. Dapat disimpulkan bahwa transaksi ta’min memiliki empat rukun. Adanya dua pihak yang mengadakan transaksi, yaitu lembaga asuransi dan nasabah. Adanya bahaya atau musibah, yaitu peristiwa yang dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang. Adanya premi, yaitu sejumlah uang yang diserahkan oleh nasabah secara berkala sesuai dengan kesepakatan para pihak. Adanya kompensasi materi yang jumlahnya boleh jadi telah dipastikan di awal atau tergantung besarnya nilai kerugian yang terjadi. Transaksi ta’min itu menyelisihi syariat Islam karena mengandung berbagai hal yaitu: Gharar (spekulasi), jahalah (ketidakjelasan), dan khathar (untung-untungan), sehingga transaksi ini termasuk memakan harta orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan. Mirip dengan judi karena dalam transaksi ini terdapat unsur taruhan (untung-untungan), karena dalam transaksi ini terdapat unsur untung-untungan terkait dengan finansial, kerugian dalam adanya kesalahan, dan mendapatkan keuntungan tanpa kompensasi atau ada kompensasi namun sangat tidak layak. Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadilan. Adapun Majma` al-Fikih Islami yang berada di bawah naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam) mengatakan, “Sesungguhnya transaksi ta’min tijari dengan premi yang konstan, sebuah transaksi yang dipergunakan oleh berbagai lembaga asuransi yang berorientasi kepada bisnis, adalah sebuah transaksi yang mengandung unsur gharar yang besar yang membatalkan transaksi. Oleh karena itu, hukumnya adalah haram, menurut syariat.” Transaksi ta’min tijari merupakan salah satu transaksi tukar-menukar finansial yang mengandung unsur judi dan gharar yang keterlaluan. Saat transaksi, nasabah tidaklah mengetahui nilai total dari jumlah premi yang harus dia berikan dan nilai jumlah kompensasi finansial yang akan dia dapatkan. Contoh : seorang nasabah baru menyerahkan premi sebanyak satu atau dua kali lalu terjadi musibah, sehingga dia berhak mendapatkan kompensasi finansial yang telah disanggupi oleh lembaga asuransi. Atau kemungkinan yang lain, musibah tak kunjung terjadi sehingga nasabah menyerahkan semua premi namun tidak dapat timbal balik apa pun. Jadi kesimpulannya, yang satu untung sementara yang lain buntung. Seperti judi, di mana ada yang kalah dan ada yang menang (unsur untung-untungan). Sehingga terbentuk wadah asuransi kerja sama (ta’min ta’awuni) sebagai alternatif pengganti ta’min tijari yang haram sebagaimana di atas. Dan secara aklamasi majelis al-Majma` menyepakati keputusan Haiah Kibar Ulama’ (Saudi Arabia) memperbolehkan ta’min ta’awuni. Terkait masalah ini, Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i, seorang ulama dari negeri Yaman, pernah ditanya, “Apa hukum asuransi jiwa atau barang?” Syekh Abdullah bin Umar bin Mar’i menjawabbahwa Asuransi yang tersebar di permukaan bumi ini, termasuk di antaranya di tengah-tengah kaum muslim, meski dengan sangat disayangkan, secara global termasuk asuransi yang haram karena di dalamnya terdapat unsur membahayakan pihak lain dan mengambil harta milik orang lain dengan cara paksa. Padahal, harta milik orang lain tidak boleh diambil kecuali dengan cara yang benar, sebagaimana firman Allah : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (Qs. al-Baqarah: 188) Sistem asuransi atau ad-diyah alal aqilah sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad kemudian turun temurun tetap ada dalam implementasi syariah Islam sampai kepada sistem kekhalifahan yang paling terakhir yaitu kekhalifahan Utsmaniyah di Turki yang diruntuhkan oleh Kemal Attatur pada tahun 1920 an. Setelah itu sistem aqilah hilang ditelan bumi. Kemudian pada Mu’tamar Ekonomi Islam tahun 1976 di Mekah dan Majma’ al-Fiqh al Islami al ‘alami (Kesatuan Ulama Figh Dunia) tahun 1985 memutuskan bahwa asuransi konvensional yang kita kenal selama ini bertentangan dengan syariah alias hukumnya haram, dan merekomendasikan mendirikan asuransi ta’awuni atau takaful (asuransi syariah). Merespon fatwa ulama tersebut maka pada tahun 1979 pertama kalinya dikenalkan asuransi syariah dalam versi modern yaitu dengan berdirinya Islamic Insurance di Sudan. Sejarah terbentuknya asuransi Islam dimulai sejak 1979 ketika sebuah perusahaan Sudanese Islamic Insurance di Sudan memperkenalkan asuransi Islam. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab. Setelah itu pada 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa, Dar Al-Maal Al-Islami di Swiss memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Lalu diikuti oleh penerbitan asuransi Islam kedua di Eropa yang diperkenalkan oleh Islamic Takaful Company (ITC) di Luksemburg pada 1983.

PRINSIP-PRINSIP ASURANSI SYARI’AH

Sesuai dengan tujuan dibentuknya asuransi syariah (takaful), maka kerangka operasional asuransi syriah didasarkan kepada prinsip-prinsip meliputi : 1. Sesama muslim saling bertanggung jawab. Kesulitan seorang muslim dalam kehidupan menjadi tanggung jawab sesama muslim lainnya. (QS. Ali-Imran : 103) 2. Sesama muslim saling bekerja sama dan bantu membantu. Seorang muslim dituntut mampu merasakan dan memikirkan apa yang dirasakan dan dipikirkan saudaranya. Hal ini menimbulkan sikap saling membutuhkan antara sesama muslim dalam menyelesaikan masalah. (QS. At-Taubah : 71) Tujuan dari dana tabarru’ (tolong menolong) ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong 3. Sesama muslim saling melindungi penderitaan satu sama lain. Tolong menolong, bantu membantu dan melindungi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat muslim. (QS. Adh-Dhuha : 9-10) Dengan menggunakan asuransi syariah, hidup menjadi lebih tenang dan barokah. Tidak lagi ragu-ragu untuk menjadi nasabah asuransi. Dahulu sebelum adanya produk asuransi syariah, para ulama memperbolehkan para umat muslim menggunakan asuransi konvensional dengan alasan darurat (tidak ada pilihan lain). Kemudian dengan adanya asuransi syariah menjadi jalan keluar untuk para nasabah muslim mencari produk yang halal. Realitanya, masih banyak umat muslim masih menggunakan asuransi konvesional karena masih belum melek asuransi syariah. Namun beriringnya waktu dan pemahaman masyarakat makin bertambah tentang asuransi syariah, jumlah nasabah asuransi ini semakin hari semakin banyak. Untuk poin terakhir, perihal keuntungan (profit) banyak yang menganggap bahwa hal tersebut sama dengan pembagian bonus (claim bonus) pada asuransi konvensional. Claim bonus ini sering dijadikan senjata oleh asuransi konvensional untuk melawan asuransi syariah. Memang no claim bonus ini mirip (namun tak sama) dengan mudharabah (bagi hasil) di syariah. Keuanya merupakan sisa atau bagi hasil jikalau tidak ada klaim atau masih ada selisih antara premi dan klaim secara keseluruhan di akhir masa kontrak. Bedanya no claim bonus secara syariah tidak halal karena sistemnya adalah konvensional dimana didalamnya masih ada gharar, masyir dan riba. Sedangkan yang ‘bagi hasil’ karena sistemnya pake syariah maka dia halal. Bila diilustrasikan kira-kira yang no claim bonus itu identik dengan ayam goreng yang dipelintir (tidak di potong pake bismillah) maka haram, sedangkan mudharabah di syariah adalah ayam goreng yang dipotong pake bismillah maka halal. Rasanya memang bisa sama, tapi prosesnya yang berbeda.

ASURANSI SYARIAH DI INDONESIA

Di dunia sekarang ini kira-kira sudah ada sekitar 200-an asuransi syariah, umumnya mereka menyebut dengan nama asuransi takaful atau islamic insurance. Asuransi syariah justru lebih banyak di negara-negara non muslim, seperti Luxemborg, Australia, Inggris, Sri Langka, dan USA. Selain itu Negara-negara non Islam (juga dengan jumlah penduduk bukan mayorotas muslim) seperti Singapura, Hongkong dan Inggris dengan Loyyd, ingin menjadi hub sharia business. Mereka berlomba-lomba menarik investor Timur Tengah dengan membuatkan skim-skim syariah, dengan membuatkan regulasi yang memudahkan, termasuk kemudahan dalam aspek perpajakan (di Indonesia asuransi syariah ini justru dikenakan pajak berganda). Bagaimana dengan perkembangan di Indonesia? Di Indonesia sendiri asuransi syariah pertama, yaitu Asuransi Takaful melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia. Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar ummat Muslim di dunia. Ada sekitar 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari total 234.693.997 jiwa penduduk. Walau Islam menjadi mayoritas, namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam. Produksi asuransi syariah baru mulai tumbuh dan masih kalah bersaing dengan asuransi konvesial. Peluang pengembangan asuransi syariah dinilai masih terbuka karena jumlah nasabahnya masih berkisar pada 5% dari jumlah penduduk. Saat ini Indonesia sudah ada 39 Perusahaan asuransi yang beroperasional secara syariah dari 50 perusahaan yang sudah mendapat rekomendasi dari Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan untuk perbankan syariah, Bank Indonesia mencatat nilai aset yang dikelola oleh 11 bank umum syariah, 24 unit usaha syariah bank umum konvensional dan 159 BPR Syariah sekitar Rp212,7 triliun, posisi April 2013. Pedoman utama kesesuaiannya dengan syariah adalah fatwa DSN-MUI. Ada beberapa fatwa yang menjadi pedoman operasional asuransi syariah. Fatwa ini menjelaskan tentang tujuan asuransi, yaitu tolong menolong dalam menghadapi risiko dan investasi. Karenanya, akad yang digunakan adalah tijarah dengan tabarru’ atau wakalah bil ujrah dengan tabarru’. Sedangakan menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 246 disebutkan bahwa "asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu". Namun pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi asuransi syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan kareni regulasi yang ada tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah. Asuransi syariah berdasarkan fatwa DSN-MUI, asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah. Sayangnya fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis syariah

KELAS MENENGAH INDONESIA

Menurut buku ‘Satu Dasawarsa Membangun untuk Kesejahteraan Rakyat’ yang diterbitkan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial (2014) terjadi peningkatan jumlah masyarakat kelas menengan dari 37 persen pada tahun 2004 menjadi 56,7 persendari total penduduk Indonesia pada tahun 2013. Kelas menengah adalah mereka yang pembelanjaan uang perharinya antara USD 2 – 20. Jumlahnya di Indonesia sekira 135 juta dan merupakan calon nasabah potensial bagi perkembangan asuransi syariah. Dari jumlah ini baru tergarap kurang dari 5 persen, padahal kelas menengah inilah paling membutuhkan produk-produk asuransi syariah.  Survei Melek Keuangan OJK (sumber: cekaja.com) Bagi kelas menengah, permasalahan uang disini sebenarnya bukan masalah memiliki atau tidak, melainkan apakah asuransi jiwa ditempatkan pada prioritas “belanja” atau tidak. Karena kompetisi dari produk atau investasi lainnya yang jelas lebih nyata akan membuat orang merasa asuransi bukan menjadi prioritas utama. Ini adalah prioritas utama yang “manfaat” belum akan Anda rasakan sekarang. Ingat pepatah lama : “jangan mulai menggali sumur ketika Anda sudah merasa haus, karena itu sudah menjadi sangat terlambat.” Namun kendala disini adalah banyak dari mereka yang belum melek asuransi (konvensional), apalagi asuransi syariah yang baru tumbuh. Menurut survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mereka yang melek asuransi masih pada kisaran 42 persen sedangkan yang tergarap baru sekitar 5 persen. Masih diperlukan kerja keras dari pelaku asuransi untuk membuat mereka mengerti dan memahami produk-produk asuransi syariah. Selain asuransi syariah belum menjadi prioritas masyarakat, salah satu kendalanya adalah kesalahpahaman tentang asuransi yang hanya digunakan oleh para muslim. Padahal layanan asuransi syariah dapat digunakan oleh semua masyarakat, baik muslim maupun non muslim. Kesalahpahaman agama terus membatasi pertumbuhan asuransi syariah ditambah lagi sebagian masyarakat masih menganggap sama produk antara asuransi syariah dengan konvensional. Hayoo, padahal 42 persen mengaku sudah melek asuransi lho.... Menurutnya asuransi syariah adalah kategori baru yang masih memerlukan penyebarluasan informasi untuk mendidik masyarakat yang memiliki kesalahpahaman tentang model asuransi Islam. Asuransi syariah adalah alat mitigasi risiko syariah yang memungkinkan operator maupun nasabah memanfaatkan kebutuhan keuangan mereka tanpa mengorbankan keyakinan dan sistem nilai. Dengan begitu, keduanya hanya menikmati bisnis halal. Asuransi syariah adalah sarana untuk keselamatan dan kesejahteraan baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
http://www.aasi.or.id
Selengkapnyahttp://www.kompasiana.com/bacabaca/asuransi-syariah-asuransi-masa-depan-indonesia





Baca Juga Artikel Terkait Lainnya

Berkomentarlah Dengan Sopan Dan Beretika. Terima Kasih