.

» » Apa yang membuat haram, jangan ragu terhadap fatwa fatwa MUI

Apa yang membuat haram, jangan ragu terhadap fatwa fatwa MUI

Penulis By on Friday 4 March 2016 | No comments



Kenapa orang masih saja ribut dengan yang namanya lembaga keuangan yang berbasis syariah?padahal MUI yang jelas jelas lembaga resmi negara RI yang terdiri dari kumpulan para ulama ulama telah memberikan lebel HALAL.
Saya sendiri awalnya ragu ragu dan sering merenungi apa yang menjadi bahan renungan saya, yaitu masalah bank syariah dan asuransi syariah, karena masih ada segolongan orang yang ragu dan masih bimbang terhadap fatwa MUI terkait dengan perbankan syariah dan asuransi syariah. Dan ini membuat saya berfikir terus untuk mencari tahu yang sebenarnya.
Artikel ini saya tulis karena di luar sana ada pendapat yang menyatakan bahwa asuransi asuransi syariah itu hukumnya tetap  haram (katanya). Pendapat semacam ini bertebaran di internet dan sempat menggalaukan beberapa masyarakat.
Jika betul demikian, berarti membeli asuransi itu hukumnya haram, memanfaatkannya haram, mempromosikannya haram, menjualnya haram, dan upah yang diterima darinya pun haram. Selain itu bagi PNS yang menggunakan fasililats kesehatan dari negara juga haram dong?

Dan jika asuransi syariah pun hukumnya masih haram, lalu apakah alternatifnya?

Sebetulnya ada dua pendapat mengenai hal ini. Ada yang menghalalkan asuransi syariah, ada pula yang mengharamkan. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam, terlebih dalam masalah-masalah kontemporer, adalah hal biasa. Sebagai orang yang bukan bergelut di bidang hukum Islam, saya dapat saja menghemat energi dengan memilih salah satu pendapat dan menyalurkan energi saya untuk memikirkan hal-hal yang lain.

Namun saya ingin mendalami ilmu  terkait hal ini. Saya akan memulai dari pendapat yang mengharamkan asuransi syariah, karena dari sinilah latar belakang artikel ini. Sejauh saya menelusuri di internet, saya belum menemukan bantahan atau jawaban dari pendapat-pendapat tersebut. Mungkin saja artikel ini akan menjadi jawaban.
Pendapat Yang Mengharamkan Asuransi Syariah
Jika kita ketik “hukum asuransi syariah” di mesin pencari, kita akan menemukan sejumlah artikel dan tanya jawab yang mengeluarkan pendapat haramnya asuransi syariah. Supaya para pembaca dapat ikut berdiskusi, berikut tautan dari artikel-artikel tersebut:

Menurut artikel-artikel tsb, yang satu sama lain tidak berbeda substansinya, setidaknya ada empat poin yang menjadikan asuransi syariah haram.


  1.  Dalil hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi tidak tepat.

Hadis Asy’ariyyin yang dimaksud adalah: Nabi bersabda, Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka.” (HR Muttafaq ‘alaih).
Menurut para pengkritik asuransi syariah, dalam hadis tersebut bahaya terjadi lebih dahulu, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong). Sedangkan dalam asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu padahal bahayanya belum terjadi sama sekali.

   2. Akad dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam 
       Islam. Mestinya ada tiga pihak, tapi dalam asuransi syariah hanya ada dua pihak.


Dalam sebuah hadis dari Abu Qatadah r.a., diceritakan bahwa kepada Nabi Saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menyalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya utang?” Para sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Salatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi Saw. pun lalu menyalatkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan al-Hakim).
Dalam hadis tersebut ada tiga pihak. Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah r.a. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.
Sementara dalam asuransi syariah, hanya ada dua pihak, yaitu: Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu).

  3. Terjadi multiakad atau akad ganda, yaitu penggabungan akad hibah dan akad tijarah
     (komersial), padahal Nabi melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.


Ada beberapa hadis yang menyebutkan larangan membuat beberapa akad dalam satu akad, antara lain:
Pertama, hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang jual beli dan pinjaman.
Kedua, hadis riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli (bay’atain fi bay’atin)”.
Ketiga, hadis riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud: “Nabi Saw. melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin).”
Keempat, hadis riwayat Thabrani dari Hakim Ibnu Hizam: “Nabi saw. telah melarang aku dari empat macam jual-beli yaitu: (1) menggabungkan salaf (jual-beli salam/pesan) dan jual-beli; (2) dua syarat dalam satu jual-beli; (3) menjual apa yang tidak ada pada dirimu; (4) mengambil laba dari apa yang tak kamu jamin [kerugiannya].”

  4. Akad hibah (tabarru) dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan pengertian hibah, 
      yaitu pemberian tanpa kompensasi.

Dalam asuransi syariah, peserta memberikan dana hibah tapi sekaligus mengharap kompensasi. Ini dianggap sama dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang hukumnya haram. Sabda Nabi Saw: “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabda Nabi Saw: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya.” (HR Abu Dawud).

Tanggapan
Setelah membaca dalil-dalil di atas, bagaimanakah pendapat anda? Apakah anda setuju asuransi syariah itu haram?
Inilah tanggapan  terhadap kritik tersebut:
Pertama, mengenai dalil hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi.
  • Menurut saya kritik ini tidak tepat pada sasaran. Hadis Asy’ariyyin bukanlah dalil asuransi syariah, dan dalam fatwa MUI tentang asuransi syariah, hadis ini tidak dicantumkan sebagai dalil. Silakan cek di http://www.asuransisyariah.asia/product/4/5/Fatwa-MUI-tentang-Tabbaru-Asuransi-Syariah
  • Mungkin saja ada ulama lain yang menjadikan hadis ini sebagai dalil asuransi syariah, tapi pastilah bukan dalil satu-satunya atau dalil yang utama. Selain itu, meski tidak sepenuhnya tepat, setidaknya hadis ini dapat digunakan sebagai dalil bolehnya melakukan tolong-menolong dalam kesusahan.
  • Saya setuju bahwa hadis tersebut bercerita tentang kegiatan tolong-menolong setelah terjadi musibah, dan tolong-menolong semacam ini baik serta dipuji oleh Nabi. Tapi apakah hadis tersebut melarang tolong-menolong sebelum terjadi musibah? Saya tidak melihatnya sama sekali.
  • Tidak tepatnya dalil tidak otomatis membuat hukum asuransi syariah menjadi haram. Hal itu hanya menunjukkan bahwa perihal asuransi memang belum ada contohnya pada zaman Nabi, baik dalam praktik maupun ucapan.
  • Dalam hal ini, kaidah yang patut digunakan adalah “Dalam muamalah, hukum asalnya boleh selama tidak ada dalil yang melarang.”
  • Bisa baca ini juga  http://sharialearn.wikidot.com/fatwa-dsn
Kedua, tentang ketidaksesuaian akad asuransi syariah dengan akad dhaman dalam Islam.
  • Saya setuju bahwa dalam hadis Abu Qatadah di atas, akad dhaman yang dicontohkan terdiri dari tiga pihak (Abu Qatadah sendiri, jenazah, dan pemberi utang). Tapi apakah hadis tersebut melarang akad dhaman dengan dua pihak?
  • Jika kita tinjau kembali hadis Asy’ariyyin di atas, justru yang terjadi adalah tolong-menolong atau saling menanggung di antara dua pihak, yaitu pihak penanggung (dhamin) ialah kaum Asy’ariyyin dan pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu) ialah kaum Asy’ariyyin juga. Di sini tidak terdapat pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Kita tahu bahwa tradisi kaum Asy’ariyyin ini mendapat pujian dari Nabi Saw.
Ketiga, tentang akad ganda.
  • Hadis tentang pelarangan akad ganda atau multiakad tidak bisa dimaknai secara serampangan. Menurut saya, akad ganda yang dilarang itu adalah akad terhadap objek yang sama. Pelarangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ketidakjelasan akad, yang bisa membingungkan dan merugikan salah satu pihak. Sebagai contoh: jika saya menyerahkan uang kepada seseorang, harus jelas apakah uang itu pinjaman ataukah pemberian. Dikatakan akad ganda jika suatu saat saya berkata uang itu pemberian, pada saat lain saya berkata uang itu pinjaman.
  • Jika objeknya berbeda, meskipun dalam lingkup produk yang sama, hal itu tidak bisa disebut akad ganda. Bagaimana pun tiap objek memerlukan akadnya sendiri-sendiri, begitu pula objek yang sama tetapi pihak-pihaknya berbeda akan memerlukan akad tersendiri. Penggabungan akad-akad ini dalam suatu produk keuangan tidak bisa serta-merta disamakan dengan akad ganda yang dilarang oleh Nabi.
  • Akad-akad dalam asuransi syariah tidak bisa disebut akad ganda, karena tiap akad berlaku untuk objek yang berbeda dan atau para pihak yang berbeda.
  • Dalam asuransi syariah terdapat dua akad, yaitu akad tabarru (hibah) dan akad tijarah (komersial). Kedua akad ini objeknya berbeda, dan pihak-pihak yang terlibat pun berbeda.
  • Objek akad tabarru adalah pengumpulan dana tabarru (hibah) oleh para peserta. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan peserta sebagai kumpulan. Peserta sebagai individu menghibahkan sejumlah dana kepada peserta sebagai kumpulan, yang akan digunakan untuk menolong para peserta yang mengalami suatu musibah.
  • Sedangkan objek akad tijarah adalah pengelolaan dana tabarru oleh perusahaan asuransi. Pihak yang terlibat adalah peserta (sebagai individu maupun kumpulan) dengan perusahaan asuransi. Akad tijarah yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).
  • Pada produk asuransi yang mengandung nilai tunai (saving product), untuk unsur savingnya diberlakukan juga akad tijarah. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan perusahaan asuransi. Akad tijarah pada unsur saving dapat menggunakan salah satu dari tiga bentuk, yaitu akad mudharabah (bagi hasil), akad mudharabah-musytarakah (jika perusahaan asuransi sebagai pengelola ikut menyertakan modalnya), atau akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).
  • Dalam konteks yang lebih luas, adanya beberapa akad dalam sebuah produk keuangan ataupun aktivitas ekonomi lain sesungguhnya tidak bisa dihindari. Contoh: pembelian rumah dengan cara kredit setidaknya melibatkan tiga pihak: pembeli, penjual, dan lembaga pembiayaan, di mana masing-masing memerlukan akad tersendiri yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Dalam sebuah kerja sama bisnis yang melibatkan banyak orang, di mana tiap-tiap pihak menyumbangkan kontribusi yang berbeda baik jenis maupun jumlahnya, tidak mungkin bisa dirangkum dalam sebuah akad saja.
  • Akad ganda itu sendiri ada beberapa macam, tidak bisa seluruhnya dilarang. Lebih lanjut sila menyimak antara lain di sini: http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/multi-akad-al-uqud-al-murakkabahhybrid-contracts-dalam-transaksi-syariah-kontemporer-pada-lembaga-keuangan-syariah-di-indonesia-2/. Menurut saya, tidak mungkin Nabi melarang sesuatu yang secara alamiah tidak bisa dihindarkan.
Keempat, tentang penarikan kembali dana hibah (tabarru).
Demikian. Semoga bermanfaat untuk para pembaca, terutama yang masih galau dengan kehalalan asuransi syariah. Ditunggu masukan-masukannya terhadap isi artikel ini. [alifhayat]


Baca Juga Artikel Terkait Lainnya

Berkomentarlah Dengan Sopan Dan Beretika. Terima Kasih