Kenapa
orang masih saja ribut dengan yang namanya lembaga keuangan yang berbasis
syariah?padahal MUI yang jelas jelas lembaga resmi negara RI yang terdiri dari kumpulan para ulama ulama telah memberikan lebel HALAL.
Saya
sendiri awalnya ragu ragu dan sering merenungi apa yang menjadi bahan renungan
saya, yaitu masalah bank syariah dan asuransi syariah, karena masih ada
segolongan orang yang ragu dan masih bimbang terhadap fatwa MUI terkait dengan
perbankan syariah dan asuransi syariah. Dan ini membuat saya berfikir terus
untuk mencari tahu yang sebenarnya.
Artikel
ini saya tulis karena di luar sana ada pendapat yang menyatakan bahwa asuransi asuransi
syariah itu hukumnya tetap haram (katanya). Pendapat semacam ini bertebaran di internet dan
sempat menggalaukan beberapa masyarakat.
Jika
betul demikian, berarti membeli asuransi itu hukumnya haram, memanfaatkannya
haram, mempromosikannya haram, menjualnya haram, dan upah yang diterima darinya
pun haram. Selain itu bagi PNS yang menggunakan fasililats kesehatan dari negara juga haram dong?
Dan
jika asuransi syariah pun hukumnya masih haram, lalu apakah alternatifnya?
Sebetulnya
ada dua pendapat mengenai hal ini. Ada yang menghalalkan asuransi syariah, ada
pula yang mengharamkan. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam, terlebih dalam
masalah-masalah kontemporer, adalah hal biasa. Sebagai orang yang bukan
bergelut di bidang hukum Islam, saya dapat saja menghemat energi dengan memilih
salah satu pendapat dan menyalurkan energi saya untuk memikirkan hal-hal yang
lain.
Namun
saya ingin mendalami ilmu terkait hal ini. Saya akan memulai dari
pendapat yang mengharamkan asuransi syariah, karena dari sinilah latar belakang
artikel ini. Sejauh saya menelusuri di internet, saya belum menemukan bantahan
atau jawaban dari pendapat-pendapat tersebut. Mungkin saja artikel ini akan
menjadi jawaban.
Pendapat
Yang Mengharamkan Asuransi Syariah
Jika
kita ketik “hukum asuransi syariah” di mesin pencari, kita akan menemukan
sejumlah artikel dan tanya jawab yang mengeluarkan pendapat haramnya asuransi
syariah. Supaya para pembaca dapat ikut berdiskusi, berikut tautan dari
artikel-artikel tersebut:
- http://konsultasi.wordpress.com/2010/08/16/asuransi-takaful-haram/
- http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/hukum-asuransi.html
- http://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/07/hukum-asuransi-syariah/
- http://konsultasi.wordpress.com/2012/05/22/hukum-asuransi-syariah/
- http://chirpstory.com/li/61020
- http://mediaislamnet.com/2010/07/hukum-asuransi-syariah/
- http://studipemikiranislam.files.wordpress.com/2013/09/hukum-asuransi-syariah.pdf
- http://umuainana2.blogspot.com/2013/02/hukum-asuransi-syariah_6.html
- http://pengusahamuslim.com/bagaimanakah-hukum-asuransi-dalam-islam-33/#.VB-a2FdH3IU
Menurut
artikel-artikel tsb, yang satu sama lain tidak berbeda substansinya, setidaknya
ada empat poin yang menjadikan asuransi syariah haram.
- Dalil hadis Asy’ariyyin yang digunakan sebagai dasar asuransi tidak tepat.
Hadis Asy’ariyyin yang dimaksud adalah: Nabi bersabda, “Kaum Asy’ariyin jika mereka kehabisan bekal dalam peperangan atau jika makanan keluarga mereka di Madinah menipis, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu lembar kain kemudian mereka bagi rata di antara mereka dalam satu wadah, mereka itu bagian dariku dan aku pun bagian dari mereka.” (HR Muttafaq ‘alaih).Menurut para pengkritik asuransi syariah, dalam hadis tersebut bahaya terjadi lebih dahulu, baru dilakukan proses ta’awun (tolong-menolong). Sedangkan dalam asuransi syariah, ta’awun dilakukan lebih dahulu padahal bahayanya belum terjadi sama sekali.
2. Akad dalam asuransi syariah tidak sesuai dengan akad dhaman (pertanggungan) dalam
Islam. Mestinya ada tiga pihak, tapi dalam asuransi syariah hanya ada dua pihak.
Dalam sebuah hadis dari Abu Qatadah r.a., diceritakan bahwa kepada Nabi Saw. pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau menyalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya utang?” Para sahabat berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Salatkan teman kalian!” Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku, wahai Rasulullah.” Nabi Saw. pun lalu menyalatkannya. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’I, dan al-Hakim).Dalam hadis tersebut ada tiga pihak. Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin) adalah Abu Qatadah r.a. Kedua, pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu) adalah jenazah. Ketiga, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) adalah orang yang memberi utang kepada jenazah.Sementara dalam asuransi syariah, hanya ada dua pihak, yaitu: Pertama, pihak yang menjamin/ penanggung (dhamin), yaitu para peserta semua; kedua, pihak yang mendapat jaminan / tanggungan (madhmun lahu) yaitu para peserta semua. Jadi dalam asuransi syariah tidak terdapat pihak ketiga, yaitu pihak yang dijamin / tertanggung (madhmun ‘anhu).
3. Terjadi multiakad atau akad ganda, yaitu
penggabungan akad hibah dan akad tijarah
(komersial), padahal Nabi melarang dua
kesepakatan dalam satu kesepakatan.
Ada beberapa hadis yang menyebutkan larangan membuat beberapa akad dalam satu akad, antara lain:Pertama, hadis riwayat Ahmad dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang jual beli dan pinjaman.”Kedua, hadis riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah: “Rasulullah Saw. melarang dua jual beli dalam satu jual beli (bay’atain fi bay’atin)”.Ketiga, hadis riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud: “Nabi Saw. melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan (shafqatain fi shafqatin).”Keempat, hadis riwayat Thabrani dari Hakim Ibnu Hizam: “Nabi saw. telah melarang aku dari empat macam jual-beli yaitu: (1) menggabungkan salaf (jual-beli salam/pesan) dan jual-beli; (2) dua syarat dalam satu jual-beli; (3) menjual apa yang tidak ada pada dirimu; (4) mengambil laba dari apa yang tak kamu jamin [kerugiannya].”
4. Akad hibah (tabarru) dalam asuransi syariah
tidak sesuai dengan pengertian hibah,
yaitu pemberian tanpa kompensasi.
Dalam asuransi syariah, peserta memberikan dana hibah tapi sekaligus mengharap kompensasi. Ini dianggap sama dengan menarik kembali hibah yang diberikan, yang hukumnya haram. Sabda Nabi Saw: “Orang yang menarik kembali hibahnya, sama dengan anjing yang menjilat kembali muntahannya.” (HR Bukhari dan Muslim). Juga sabda Nabi Saw: “Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya.” (HR Abu Dawud).
Tanggapan
Setelah
membaca dalil-dalil di atas, bagaimanakah pendapat anda? Apakah anda setuju
asuransi syariah itu haram?
Inilah
tanggapan terhadap kritik tersebut:
Pertama, mengenai dalil hadis Asy’ariyyin yang
digunakan sebagai dasar asuransi.
- Menurut saya kritik ini tidak tepat pada sasaran. Hadis Asy’ariyyin bukanlah dalil asuransi syariah, dan dalam fatwa MUI tentang asuransi syariah, hadis ini tidak dicantumkan sebagai dalil. Silakan cek di http://www.asuransisyariah.asia/product/4/5/Fatwa-MUI-tentang-Tabbaru-Asuransi-Syariah
- Mungkin saja ada ulama lain yang menjadikan hadis ini sebagai dalil asuransi syariah, tapi pastilah bukan dalil satu-satunya atau dalil yang utama. Selain itu, meski tidak sepenuhnya tepat, setidaknya hadis ini dapat digunakan sebagai dalil bolehnya melakukan tolong-menolong dalam kesusahan.
- Saya setuju bahwa hadis tersebut bercerita tentang kegiatan tolong-menolong setelah terjadi musibah, dan tolong-menolong semacam ini baik serta dipuji oleh Nabi. Tapi apakah hadis tersebut melarang tolong-menolong sebelum terjadi musibah? Saya tidak melihatnya sama sekali.
- Tidak tepatnya dalil tidak otomatis membuat hukum asuransi syariah menjadi haram. Hal itu hanya menunjukkan bahwa perihal asuransi memang belum ada contohnya pada zaman Nabi, baik dalam praktik maupun ucapan.
- Dalam hal ini, kaidah yang patut digunakan adalah “Dalam muamalah, hukum asalnya boleh selama tidak ada dalil yang melarang.”
- Bisa baca ini juga http://sharialearn.wikidot.com/fatwa-dsn
Kedua, tentang ketidaksesuaian akad asuransi
syariah dengan akad dhaman dalam Islam.
- Saya setuju bahwa dalam hadis Abu Qatadah di atas, akad dhaman yang dicontohkan terdiri dari tiga pihak (Abu Qatadah sendiri, jenazah, dan pemberi utang). Tapi apakah hadis tersebut melarang akad dhaman dengan dua pihak?
- Jika kita tinjau kembali hadis Asy’ariyyin di atas, justru yang terjadi adalah tolong-menolong atau saling menanggung di antara dua pihak, yaitu pihak penanggung (dhamin) ialah kaum Asy’ariyyin dan pihak yang mendapat tanggungan (madhmun lahu) ialah kaum Asy’ariyyin juga. Di sini tidak terdapat pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Kita tahu bahwa tradisi kaum Asy’ariyyin ini mendapat pujian dari Nabi Saw.
Ketiga, tentang akad ganda.
- Hadis tentang pelarangan akad ganda atau multiakad tidak bisa dimaknai secara serampangan. Menurut saya, akad ganda yang dilarang itu adalah akad terhadap objek yang sama. Pelarangan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya ketidakjelasan akad, yang bisa membingungkan dan merugikan salah satu pihak. Sebagai contoh: jika saya menyerahkan uang kepada seseorang, harus jelas apakah uang itu pinjaman ataukah pemberian. Dikatakan akad ganda jika suatu saat saya berkata uang itu pemberian, pada saat lain saya berkata uang itu pinjaman.
- Jika objeknya berbeda, meskipun dalam lingkup produk yang sama, hal itu tidak bisa disebut akad ganda. Bagaimana pun tiap objek memerlukan akadnya sendiri-sendiri, begitu pula objek yang sama tetapi pihak-pihaknya berbeda akan memerlukan akad tersendiri. Penggabungan akad-akad ini dalam suatu produk keuangan tidak bisa serta-merta disamakan dengan akad ganda yang dilarang oleh Nabi.
- Akad-akad dalam asuransi syariah tidak bisa disebut akad ganda, karena tiap akad berlaku untuk objek yang berbeda dan atau para pihak yang berbeda.
- Dalam asuransi syariah terdapat dua akad, yaitu akad tabarru (hibah) dan akad tijarah (komersial). Kedua akad ini objeknya berbeda, dan pihak-pihak yang terlibat pun berbeda.
- Objek akad tabarru adalah pengumpulan dana tabarru (hibah) oleh para peserta. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan peserta sebagai kumpulan. Peserta sebagai individu menghibahkan sejumlah dana kepada peserta sebagai kumpulan, yang akan digunakan untuk menolong para peserta yang mengalami suatu musibah.
- Sedangkan objek akad tijarah adalah pengelolaan dana tabarru oleh perusahaan asuransi. Pihak yang terlibat adalah peserta (sebagai individu maupun kumpulan) dengan perusahaan asuransi. Akad tijarah yang digunakan adalah akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).
- Pada produk asuransi yang mengandung nilai tunai (saving product), untuk unsur savingnya diberlakukan juga akad tijarah. Pihak yang terlibat adalah peserta sebagai individu dengan perusahaan asuransi. Akad tijarah pada unsur saving dapat menggunakan salah satu dari tiga bentuk, yaitu akad mudharabah (bagi hasil), akad mudharabah-musytarakah (jika perusahaan asuransi sebagai pengelola ikut menyertakan modalnya), atau akad wakalah bil ujrah (perwakilan, penyerahan wewenang dengan upah).
- Dalam konteks yang lebih luas, adanya beberapa akad dalam sebuah produk keuangan ataupun aktivitas ekonomi lain sesungguhnya tidak bisa dihindari. Contoh: pembelian rumah dengan cara kredit setidaknya melibatkan tiga pihak: pembeli, penjual, dan lembaga pembiayaan, di mana masing-masing memerlukan akad tersendiri yang tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Dalam sebuah kerja sama bisnis yang melibatkan banyak orang, di mana tiap-tiap pihak menyumbangkan kontribusi yang berbeda baik jenis maupun jumlahnya, tidak mungkin bisa dirangkum dalam sebuah akad saja.
- Akad ganda itu sendiri ada beberapa macam, tidak bisa seluruhnya dilarang. Lebih lanjut sila menyimak antara lain di sini: http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/multi-akad-al-uqud-al-murakkabahhybrid-contracts-dalam-transaksi-syariah-kontemporer-pada-lembaga-keuangan-syariah-di-indonesia-2/. Menurut saya, tidak mungkin Nabi melarang sesuatu yang secara alamiah tidak bisa dihindarkan.
Keempat, tentang penarikan kembali dana hibah (tabarru).
- Poin keempat ini merupakan kritik yang paling substantif terhadap konsep asuransi syariah. Harus diakui, kritik ini sedikit banyak ada benarnya, namun tidak semua produk asuransi syariah dapat dikenakan kritik ini. Selain itu, konsep asuransi syariah sendiri terus berkembang menuju penyempurnaan seiring dengan kritik yang menyertainya.
- Seperti diketahui, pada asuransi syariah, akad hibah terjadi pada saat seorang peserta memberikan sejumlah dana untuk dikumpulkan dalam rekening dana tabarru. Dengan menghibahkan dana tabarru, peserta tersebut berniat untuk menolong para peserta lain, dan pada saat yang sama juga berharap akan mendapat pertolongan apabila dirinya yang mengalami musibah. Apakah hal ini diperbolehkan?
- Tentang penarikan kembali dana hibah, ini jelas haram dan dosa bagi siapa pun yang melakukannya, serta pantas dibenci oleh orang yang tadinya menerima hibah.
- Tapi yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah betul dalam asuransi syariah ada aktivitas penarikan dana hibah (tabarru) oleh peserta? Saat kapan, dalam kondisi apa, dan apakah hal itu dimungkinkan dalam aturan asuransi syariah sendiri? Hal ini harus betul-betul diperhatikan, supaya kita tidak sembarangan mengharamkan sesuatu.
- Sejauh yang saya ketahui dalam beberapa produk asuransi syariah, penarikan kembali dana hibah atau tabarru oleh peserta sama sekali tidak dimungkinkan. Sekali dana hibah peserta telah masuk ke dalam rekening tabarru, dana tersebut tidak dapat ditarik kembali, kecuali dalam masa amat singkat yang disebut freelook period (masa peninjauan polis, biasanya 7-14 hari dari tanggal polis diterima peserta). Jika peserta tidak setuju dengan ketentuan-ketentuan polis, dalam masa freelook, ia dapat mengajukan pembatalan polis dan premi (termasuk tabarru) yang telah disetorkan akan dikembalikan. Jika masa freelook telah terlewati, ia tidak akan bisa menarik kembali hibahnya walaupun di tengah jalan ia membatalkan kepesertaan.
- Bagaimana jika peserta mengalami suatu musibah dan mendapatkan bantuan sejumlah uang yang diambil dari dana tabarru, apakah hal itu bisa dikatakan sebagai penarikan kembali dana hibah? Ini salah satu yang dipersoalkan oleh kritikus asuransi syariah dan perlu dijawab dengan teliti.
- Contoh: Seorang peserta asuransi kesehatan membayarkan tabarru 2 juta setahun. Suatu ketika dia dirawat di rumah sakit dan mendapat penggantian biaya pengobatan sebesar 10 juta. Pertanyaannya, ketika peserta ini mendapatkan bantuan 10 juta, apakah bisa dikatakan dia telah menarik kembali dana hibahnya yang 2 juta?
- Menurut saya tidak. Ketika peserta tsb mendapatkan bantuan 10 juta dari rekening dana tabarru, di situ tidak dirinci misalnya 2 juta berupa pengembalian dana hibah, 8 juta berupa bantuan dari para peserta lain. Uang 10 juta tersebut adalah murni merupakan manfaat yang berhak dia terima sesuai manfaat asuransi yang diambilnya.
- Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan: Apakah boleh seorang penyumbang mendapatkan manfaat dari sumbangannya?
- Menurut saya boleh, dan dalam banyak kasus tidak bisa dihindarkan. Contoh: jika kita telah menyumbang sejumlah uang untuk masjid, bolehkah kita menarik kembali sumbangan kita dari masjid tersebut? Tentunya tidak boleh, bisa-bisa jadi bahan gunjingan orang sekampung. Tapi bolehkah kita mendapatkan manfaat dari masjid tersebut, seperti dalam bentuk air wudhu atau tempat shalat? Saya belum pernah mendengar ada yang melarang hal ini.
- Contoh lain: Jika kita mewakafkan sebidang tanah untuk pemakaman umum, bolehkah kita atau ahli waris kita mengambil alih tanah tersebut? Tentunya tidak boleh. Tapi bolehkah kita atau anggota keluarga kita ikut dimakamkan di situ? Boleh saja.
- Jadi, harus dibedakan antara menarik kembali dana hibah (yang dilarang) dengan mendapatkan manfaat dari hibah tersebut (yang dibolehkan). Ketika seorang peserta asuransi syariah mendapatkan dana klaim karena dia mengalami suatu musibah yang ditanggung, saat itu dia sedang menerima manfaat dari dana hibahnya.
- Titik krusial dari kritik keempat ini terletak pada satu aturan mengenai pembagian Surplus Underwriting. Sederhananya, surplus underwriting adalah selisih antara dana tabarru yang terkumpul dikurangi dana tabarru yang terpakai untuk membayar klaim.
- Tentang surplus underwriting ini, fatwa DSN-MUI No 53 Tahun 2006 menawarkan tiga alternatif: 1) Seluruhnya dikembalikan ke rekening dana tabarru sebagai dana cadangan klaim tahun selanjutnya. 2) Dibagikan sebagian kepada para peserta yang memenuhi syarat (biasanya jika tidak ada klaim di tahun tersebut), dan sebagian lagi kepada dana tabarru sebagai cadangan. 3) Dibagikan sebagian kepada para peserta yang memenuhi syarat, sebagian kepada dana tabarru sebagai dana cadangan, dan sebagian kepada perusahaan asuransi sebagai keuntungan.
- Alternatif kedua dan ketiga menurut saya perlu ditinjau ulang oleh para perumus fatwa. Meski jumlahnya kecil, pembagian surplus underwriting kepada para peserta yang memenuhi syarat dikhawatirkan masuk dalam cakupan hadis Nabi yang melarang seseorang menarik kembali hibahnya.
- Saya setuju dengan alternatif “keempat”, yaitu dibagikan sebagian kepada dana tabarru sebagai dana cadangan dan sebagian kepada perusahaan asuransi sebagai keuntungan. Tak ada larangan bagi perusahaan untuk memperoleh bagian surplus, dan tambahan keuntungan sangat baik untuk keberlangsungan bisnis tolong-menolong ini
- .http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=83&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61&cntnt01returnid=15
jika ingin belajar lebih banyak silahkan buka http://iecourse.blogspot.co.id/2014/09/himpunan-fatwa-dsn-mui-tentang-lembaga.html
https://1c49edf5-a-62cb3a1a-s-sites.googlegroups.com/site/alministfile/fatwa-dsn-mui/21-pedoman_asuransi_syariah.pdf?attachauth=ANoY7coPZN7qfU90twK44Cr_3HnUZyCNVQYHMfbMOpNq6OnSOl6cqe4Gqf5TUd0ySuJxbRSWU0UNuqyopaw816fGGnGOJ8HgIrRqirgWtng9Qf89kEb1nVDiIeu16x_9rrqWw554EDSdKqJR-jaNP2YOJnrzbIetvkh-n27bdFTtf4b1sSSZz5S1NMV3AKdQB4t3fKGC22Y-wtjQlRXZReteut6k32FJfRwknE-XzXYoNJ0S8O6LVdcCQQ3vZfbDAT1VBa_cwjXi&attredirects=0
https://1c49edf5-a-62cb3a1a-s-sites.googlegroups.com/site/alministfile/fatwa-dsn-mui/81-Pengembalian_Dana_Tabarru.pdf?attachauth=ANoY7cpPYp-MBJTpR4Vxhw4WF4IXeTjvatrOl7qs5r6Ya93wvbmwUe26lZRdMPlF72seUrCeRZLRSL2sKEk677oprwj2WhRYJIwi235IAiNumWWe8KKSHzslFKjFz0b9_0Rp8Uh4QhzdVvoUrCC7fQpCO0vZSRzqhuaSF0x3_xmBIPxTlU20KhswX9_NKATYnfaCjzGG2TqZmKsGf9ztNyg7ijH-cUZfjll56ILybqSpoU8zn7-pC2srcOVRdCDqsH4P-89iq1SW&attredirects=0
https://1c49edf5-a-62cb3a1a-s-sites.googlegroups.com/site/alministfile/fatwa-dsn-mui/53-tabarru_asuransi.pdf?attachauth=ANoY7cpmvJrtf3UIlT7qSwMojZEPYaor9tlQuUbTLflSgBCEoJavyNUsMEIkBWcxD_lP9ESv6JVBxnqnu4P0Q0hyhaC5_DW43y0h87KV91994Xn1yTRAJPFC6FiXcI5DwZ8HqeePPkbwPxE0ycmvUMItNJGL8GyQ3kImh-55IO8Ghk8VXrWkJWHe1kIqhpi21GqzUIpY2tEeRjs7A_cYdl3UUfQmyG5qSBX8KKZKeJQcDmb5lDfKbAlZm8PawaergSanqBsZCqCB&attredirects=0
Demikian.
Semoga bermanfaat untuk para pembaca, terutama yang masih galau dengan kehalalan asuransi syariah. Ditunggu
masukan-masukannya terhadap isi artikel ini. [alifhayat]
Berkomentarlah Dengan Sopan Dan Beretika. Terima Kasih